Berdialog Dengan Teroris
(Belajar dari Pengalaman Arab Saudi dalam Menumpas Terorisme)
Pengantar
Setan memiliki dua pintu masuk untuk menggoda dan menyesatkan manusia. Jika seseorang banyak melanggar dan berbuat maksiat, setan akan menghiasi maksiat dan nafsu syahwat untuk orang tersebut agar tetap jauh dari ketaatan. Sebaliknya jika seorang hamba taat dan rajin ibadah, setan akan membuatnya berlebihan dalam ketaatan, sehingga merusak agamanya dari sisi ini. Para ulama menyebut godaan jenis pertama sebagai syahwat, dan yang kedua sebagai syubhat. Meski berbeda, keduanya saling berkaitan. Syahwat biasanya dilandasi oleh syubhat, dan syubhat bisa tersemai dengan subur di ladang syahwat. 1
Masing-masing dari dua penyakit ini membutuhkan cara penanganan khusus. Ibnul Qayyim mengatakan: “Godaan syubhat ditangkis dengan keyakinan (baca: ilmu), dan godaan syahwat ditangkis dengan kesabaran.”2 Untuk menekan penyakit syahwat seperti zina, mabuk, pencurian, dan perampokan, agama Islam mensyariatkan hudud, berupa hukuman-hukuman fisik semacam cambuk, rajam dan potong tangan. Islam tidak mensyariatkan hudud untuk penyakit syubhat seperti berbagai bid’ah dan pemikiran menyimpang, karena syubhat tidak mudah disembuhkan dengan hudud, tapi lebih bisa diselesaikan dengan penjelasan dan ilmu. Meski demikian, kadang-kadang juga diperlukan hukuman fisik untuk menyembuhkan penyakit syubhat.
Mengikis syubhat dan berdiskusi dengan pemiliknya telah dilakukan oleh para ulama sejak zaman dahulu. Kadang-kadang mereka melakukannya dengan menulis surat, risalah, atau kitab dan kadang-kadang dengan berdialog langsung . Di samping melindungi umat dari syubhat yang ada, hal tersebut juga dimaksudkan untuk menasehati pemilik syubhat agar bisa kembali ke jalan yang benar.
Khusus pemikiran kelompok Khawarij yang identik dengan terorisme, ada beberapa kisah nasehat yang terkenal dari generasi awal umat Islam. Di antaranya kisah Ibnu Abbas – radhiyallah ‘anhuma – yang mendatangi kaum Khawarij untuk meluruskan beberapa pemahaman agama mereka yang menyimpang. Setelah diskusi yang cukup singkat dengan mereka, sebanyak dua ribu orang tobat dari kesalahan pemikiran mereka.3 Juga kisah Jabir bin Abdillah – radhiyallah ‘anhuma – yang dikunjungi beberapa orang yang tertarik dengan pemikiran Khawarij dan berencana melakukan aksi mereka di musim haji. Mereka bertanya kepada Jabir tentang pemahaman mereka terhadap ayat dan hadits, dan akhirnya semua rujuk dari pemikiran Khawarij kecuali satu orang.
Dua kisah ini menunjukkan bahwa nasehat dan diskusi sangat bermanfaat untuk mengobati penyakit syubhat ini. Riwayat tersebut juga menunjukkan bahwa jika pemilik syubhat tidak datang sendiri mencari kebenaran –seperti dalam kisah Jabir-, kita dianjurkan untuk mendatangi mereka, seperti dalam kisah Ibnu Abbas.
Dalam banyak kasus terorisme di Indonesia, ditemukan banyak pelaku teror yang sebelumnya pernah menjadi terpidana kasus terorisme. Setelah di penjara dan menjalani hukuman, mereka tidak insaf, dan kembali ke pemikiran dan perilaku mereka semula. Terlepas dari faktor hidayah, hal tersebut sangat mungkin karena penanganan yang salah atau tidak optimal. Kesalahan pemikiran yang mereka miliki termasuk dalam kategori syubhat, sehingga hukuman fisik yang mereka dapatkan di penjara, atau hukuman sosial berupa pandangan miring masyarakat tidak lantas membuat mereka jera dan insaf. Mereka menganggap aksi mereka sebagai ibadah yang mendekatkan diri mereka kepada Allah dan hukuman yang mereka dapatkan di dunia adalah konsekuensi ketaatan yang semakin menambah pundi pahala mereka.
Kondisi seperti ini menuntut pemerintah dan ulama untuk memikirkan solusi yang lebih baik, agar terorisme bisa ditekan dengan lebih optimal. Tulisan singkat ini menawarkan sebuah solusi yang telah terbukti mujarab menekan pemikiran dan aksi terorisme berdasarkan pengalaman Kerajaan Arab Saudi .
Arab Saudi dan Terorisme
Seperti Indonesia, Arab Saudi adalah salah satu negara yang paling banyak dibicarakan saat orang membahas terorisme. Berita kematian Usamah bin Ladin akhir-akhir ini juga membuat Arab Saudi kembali dibicarakan. Sebelumnya, banyak sekali peristiwa seputar terorisme yang telah terjadi di negeri yang membawahi dua kota suci umat Islam ini.
Pada 12 Mei 2003, dunia dikejutkan dengan peristiwa peledakan besar di ibukota negeri tauhid ini. Pemboman terjadi beriringan di tiga kompleks perumahan di kota Riyadh, dan mewaskan 29 orang termasuk 16 pelaku bom bunuh diri dan melukai 194 orang. Pemboman di Wadi Laban (Provinsi Riyadh) pada 8 November 2003 menewaskan 18 orang dan melukai 225 orang. Pada 21 April 2004, sebuah bom bunuh diri meledak di Riyadh dan menewaskan 6 orang dan melukai 144 orang lainnya. Sementara pada 1 Mei 2004, 4 orang dari satu keluarga menyerang sebuah perusahan di Yanbu dan membunuh 5 pekerja bule, dan melukai beberapa pekerja lain. Saat dikejar, mereka membunuh seorang petugas keamanan dan melukai 22 lainnya.
Koran ASHARQ AL-AWSAT telah merangkum peristiwa yang berhubungan dengan terorisme di Arab Saudi dalam setahun sejak pemboman 12 Mei 2003, dan melihat daftar panjang peristiwa itu, barangkali bisa dikatakan bahwa tidak ada negara yang mendapat ancaman teror sebesar dan sebanyak Arab Saudi 4. Hal ini merupakan bantahan paling kuat untuk mereka yang mengatakan bahwa ideologi terorisme negeri ‘Wahhabi’, karena justru Arab Saudi yang menjadi sasaran utama para teroris.
Para teroris juga telah berulang kali menyerang petugas keamanan. Sudah banyak petugas keamanan yang menjadi korban aksi mereka. Sudah tidak terhitung lagi aksi baku tembak antara teroris dengan petugas keamanan. Kota suci Makkah dan Madinah pun tidak selamat dari aksi-aksi ini. Bahkan ada beberapa tokoh agama yang terang-terangan memfatwakan bolehnya aksi-aksi ini. Terlepas dari objektifitas Amerika dan sekutunya, warga negara Arab Saudi termasuk penghuni terbesar kamp penjara Amerika Serikat di Teluk Guantanamo.
Tapi tampaknya hal itu sudah menjadi masa lalu. Isu terorisme di Arab Saudi dalam beberapa tahun belakangan didominasi oleh keberhasilan pemerintah menggagalkan aksi-aksi terorisme, penyergapan-penyergapan dini, rujuknya para mufti aksi terorisme dan taubatnya orang-orang yang pernah terlibat aksi teror.
Di samping itu ada kampanye besar-besaran melawan terorisme yang dilakukan pemerintah melalui berbagai media massa, penyuluhan-penyuluhan, seminar-seminar, khutbah dan ceramah, sehingga saking gencarnya barangkali terasa membosankan. Selain petugas keamanan yang telah bekerja keras, ada satu lembaga yang menjadi primadona dalam kampanye penanggulangan terorisme di arab Saudi, yaitu Lajnah al-Munashahah (Komite Penasehat).
Apa itu Lajnah al-Munashahah?
Lajnah al-Munashahah yang berarti Komite Penasehat mulai dibentuk pada tahun 2003 dan bernaung dibawah Departemen Dalam Negeri (dibawah komando Deputi II Kabinet dan Menteri Dalam Negeri, Pangeran Nayif bin Abdul Aziz) dan Biro Investigasi Umum. Tugas utamanya adalah memberikan nasehat dan berdialog dengan para terpidana kasus terorisme di penjara-penjara Arab Saudi. Lajnah al-Munashahah memulai kegiatannya dari Riyadh sebagai ibukota, kemudian memperluas cakupannya ke seluruh wilayah Arab Saudi.5
Lajnah al-Munashahah terdiri dari 4 komisi, yaitu:
- Lajnah ‘Ilmiyyah (komisi ilmiah) yang terdiri dari para ulama dan dosen ilmu syari’ah dari berbagai perguruan tinggi. Komisi ini yang bertugas langsung dalam dialog dan diskusi dengan para tahanan kasus terorisme.
- Lajnah Amniyyah (komisi keamanan) yang bertugas menilai kelayakan para tahanan untuk dilepas ke masyarakat dari sisi keamanan, mengawasi mereka setelah dilepas, dan menentukan langkah yang sesuai jika ternyata masih dinilai berbahaya.
- Lajnah Nafsiyyah Ijtima’iyyah (komisi psikologi dan sosial) yang bertugas menilai kondisi psikologis para tahanan dan kebutuhan sosial mereka .
- Lajnah I’lamiyyah (komisi penerangan) yang bertugas menerbitkan materi dialog dan melakukan penyuluhan masyarakat. 6
Teknik dialog
Hampir tiap hari Lajnah al-Munashahah bertemu dengan para tahanan kasus terorisme. Kegiatan memberi nasehat ini didominasi oleh dialog terbuka yang bersifat transparan dan terus terang. Sesekali dialog tersebut diselingi dengan canda tawa yang mubah agar para tahanan merasa tenang dan menikmati dialog.
Ada juga kegiatan daurah ilmiah berupa penataran di kelas-kelas dengan kurikulum yang menitikberatkan pada penjelasan syubhat-syubhat para tahanan, seperti masalah takfir (vonis kafir), wala’ wal bara’ (loyalitas keagamaan), jihad, bai’at, ketaatan kepada pemerintah, pejanjian damai dengan kaum kafir dan hukum keberadaan orang kafir di Jazirah Arab.7
Kegiatan dialog biasanya dilakukan setelah Maghrib dan kadang berlangsung sampai larut malam. Agar efektif, dialog tidak dilakukan secara kolektif, tapi satu per satu. Hanya satu tahanan yang diajak berdialog dalam setiap kesempatan agar ia bisa bebas dan leluasa berbicara, dan terhindar dari sisi negatif dialog kolektif.
Pada awalnya banyak tahanan yang takut untuk berterus terang mengikuti program dialog ini, karena mereka menyangka bahwa dialog ini adalah bagian dari investigasi dan akan berdampak buruk pada perkembangan kasus mereka. Namun begitu merasakan buah manis dialog, mereka sangat bersemangat dan berlomba-lomba mengikutinya.8
Mereka segera menyadari bahwa dialog ini justeru menguntungkan mereka. Sebagian malah meminta agar mereka sering diajak dialog setelah melihat keterbukaan dalam dialog dan penyampaian yang murni ilmiah (dipisahkan dari investigai kasus) dan bermanfaat dalam meluruskan pemahaman salah (syubhat) yang melekat di pikiran meraka. Rupanya mereka telah menemukan bahwa ilmulah obat yang mereka cari, dan merekapun dengan senang hati meminumnya.9
Pada umumnya, mereka memiliki tingkat pendidikan rendah, tapi memiliki kelebihan pada cabang ilmu yang mereka minati. Mereka –yang sekitar 35 % pernah tinggal di wilayah konflik- mudah termakan oleh pemikiran dan fatwa yang menyesatkan. Ketika dihadapkan pada ulama yang mumpuni dan ilmu yang benar, mereka menyadari kesalahan pemahaman mereka. Melalui dialog ini Lajnah al-Munashahah menjelaskan pemahaman yang benar terhadap dalil, membongkar dalil-dalil yang dipotong atau nukilan-nukilan yang tidak amanah.10
Setelah mengetahui kebenaran yang sesungguhnya, banyak tahanan yang menyatakan bahwa selama ini seolah-olah mereka mabuk. Banyak yang mengaku bahwa mereka mulai mengenal pemikiran terorisme dari kaset-kaset “Islami” (tentu saja Islam berlepas diri darinya), ceramah-ceramah yang menggelorakan semangat dan menyentuh emosi keagamaan mereka, juga fatwa-fatwa penganut terorisme. Tambahan gambar-gambar, cuplikan-cuplikan audio-visual dan tambahan efek pada kaset dan video ikut berpengaruh memainkan perasaan. Hal ini jika tidak dikelola dengan baik bisa menjadi badai yang berbahaya.
Rekaman-rekaman seperti inilah sumber ‘ilmu’ mereka, dan oleh karenanya disebarkan dengan intens di internet oleh pengusung pemikiran teror. Setelah mereka jatuh dalam perangkap pemikiran ini, biasanya mereka dilarang untuk mendengarkan siaran radio al-Quran al-Karim, radio pemerintah yang didukung penuh oleh para ulama besar Arab Saudi. Hal ini dimaksudkan untuk memutus akses para pemuda ini dari para ulama.11
Program dan Sarana Penunjang
Program dialog juga ditunjang dengan pemenuhan kebutuhan fisik para tahanan. Berbeda dengan metode Guantanamo yang menyiksa, para tahanan justru diberikan keleluasaan dalam memenuhi kebutuhan gizi mereka dan melakukan kegiatan refreshing.
Akses kunjungan keluarga dibuka lebar-lebar, karena hubungan yang baik dengan keluarga adalah faktor penting yang mendorong mereka keluar dari pemikiran rancu mereka. Bahkan saat dilepas, pemerintah memberikan mereka rumah, membiayai kebutuhan anak-anak mereka, bahkan membantu menikahkan mereka yang belum menikah. Intinya, mereka dibuat sibuk dengan tanggung jawab keluarga, sehingga tidak lagi tergoda untuk kembali ke aktifitas negatif yang dahulu mereka lakukan atau persahabatan buruk yang membuat mereka jatuh dalam syubhat. Keluarga mereka juga mendapat arahan khusus untuk mendukung program ini dan menjaga agar keberhasilan munashahah (upaya untuk menasehati) di penjara tidak pudar di rumah.12
Sebelum dilepas kembali ke masyarakat, para tahanan ditempatkan di pusat-pusat pembinaan berupa villa-villa peristirahatan tertutup yang memiliki fasilitas lengkap berupa kelas-kelas pembinaan dan sarana olahraga. Di pusat pembinaan yang dinamai Prince Mohammed Bin Naif Center for Advice and Care ini, program dialog tetap berjalan, ditambah kegiatan-kegiatan pemasyarakatan seperti pelatihan seni rupa dan kursus ketrampilan berijazah. Secara berkala, mereka juga diberi kesempatan untuk berkunjung ke rumah keluarga mereka untuk jangka waku tertentu dengan pengawasan.13
Sangat Berhasil, Tapi Kadang Gagal
Program munashahah ini telah mencapai keberhasilan yang luar biasa. Banyak teroris yang berhasil diluruskan kembali pemikiran dan akidahnya sehingga bisa kembali diterima masyarakat. Hanya sedikit sekali yang yang kembali ke jalan terorisme dari ribuan orang telah mengikuti dialog.
Zabn bin Zhahir asy-Syammari, eks tahanan Guantanamo yang telah mengikuti program munashahah mengatakan bahwa program ini telah berhasil dengan baik dan orang-orang yang mengikutinya telah memetik faedah yang besar. Tidak lupa ia mengucapkan terima kasih atas diadakannya program yang penuh berkah ini.14
Tapi seperti usaha manusia yang lain, dialog ini juga kadang menemui kegagalan. Salah satu kegagalan yang masyhur adalah kembalinya 7 eks tahanan Guantanamo ke pemikiran mereka selepas dari penjara. Allah tidak membukakan hati mereka untuk nasehat yang telah disampaikan. Sebabnya bisa jadi karena pemikiran takfir sudah mendarah daging pada diri mereka, atau tidak terwujudnya beberapa faktor pendukung dalam dialog. Ada juga yang berpura-pura setuju dengan apa yang disampaikan Lajnah Munashahah secara lahir saja, tanpa kesungguhan batin.15
Menurut Abdul Aziz al-Khalifah, anggota Lajnah al-Munashahah, ada tahanan yang penyimpangannya karena ketidaktahuan atau karena terpedaya. Orang seperti ini akan mudah diajak dialog dan cepat menyadari kesalahan. Ada juga yang penyimpangannya terbangun di atas prinsip yang menyimpang atau kesesatan yang sudah lama dipeluknya. Yang demikian lebih sulit dan membutuhkan usaha ekstra.16
Namun kegagalan kecil ini tidaklah mengurangi kegemilangan Kerajaan Arab Saudi dalam menumpas terorisme. Bagi pemerintah Arab Saudi, pemikiran tidak cukup dihadapi dengan senjata, tapi juga harus dilawan dengan pemikiran17. Dunia internasionalpun mengakui keberhasilan ini. Masyarakat dunia menyebutnya sebagai “Strategi Halus Saudi” atau “Kekuatan Yang Lembut”. Sudah banyak pula negara yang belajar dari pengalaman Arab Saudi dan mentransfernya ke negara mereka.18
Penutup: Bagaimana dengan Indonesia?
Banyak kesamaan antara Indonesia dan Arab Saudi. Keduanya adalah negara dengan penduduk mayoritas muslim, dan pemerintahnya sama-sama divonis kafir oleh para pengusung paham terorime. Para tokoh teror Indonesia juga banyak terpengaruh oleh para tokoh takfiri dari dunia Arab, yang banyak ditemui di wilayah-wilayah konflik dunia. Bagaimanapun, bangsa Arab tetap paling berpengaruh dalam ilmu agama Islam, baik ilmu yang benar ataupun yang salah. Karena itu, apa yang telah berhasil dipraktekkan di Arab Saudi insyaallah juga akan berhasil di Indonesia. Pemerintah RI perlu belajar dari keberhasilan ini dan mentransfernya ke bumi pertiwi, agar fitnah terorisme yang telah merusak citra Islam segera hilang atau paling tidak bisa ditekan secara berarti. Pemikiran harus dilawan dengan pemikiran! Wallahu a’lam.
—
1 Bi Ayyi ‘Aqlin wa Din Yakunu at-Tafjiru Jihadan?, Syaikh Abdul Muhsin al-Abad, hal. 3, at-Tahdzir min asy-Syahawat, ceramah Dr. Sulaiman ar-Ruhaili.
2 Ighatsatul Lahafan, Ibnul Qayyim 2/167
3 Sunan al-Baihaqi 8/179.
4 Koran ASHARQ AWSAT edisi 9297, 12 Mei 2004.
Lihat: http://www.aawsat.com/details.asp?article=233530&issueno=9297
5 Wawancara Dr. Ali an-Nafisah, Dirjen Penyuluhan dan Pengarahan Kemendagri Arab Saudi di Koran al-Riyadh edisi 13.682.
6 Markaz Muhammad bin Nayif lil Munashahah, Su’ud Abdul Aziz Kabuli, koran al-Watan edisi 3.257
7 Taqrir: Markaz Muhammad bin Nayif lir Ri’ayah asy-Syamilah wal Munashahah, assakina.com, Markaz Muhammad bin Nayif lil Munashahah, Su’ud Abdul Aziz Kabuli, koran al-Watan edisi 3.257
8 Wawancara Dr. Ali an-Nafisah, Koran al-Riyadh edisi 13.682.
9 Wawancara Dr. Ali an-Nafisah, Koran al-Riyadh edisi 13.682.
10 Wawancara Dr. Ali an-Nafisah, Koran al-Riyadh edisi 13.682.
11 Taqrir: Markaz Muhammad bin Nayif lir Ri’ayah asy-Syamilah wal Munashahah, assakina.com, Wawancara Dr. Ali an-Nafisah di Koran al-Riyadh edisi 13.682.
12 Markaz Muhammad bin Nayif lil Munashahah, Su’ud Abdul Aziz Kabuli, koran al-Watan edisi 3.257
13 Taqrir: Markaz Muhammad bin Nayif lir Ri’ayah asy-Syamilah wal Munashahah, assakina.com
14 Koran al-Riyadh edisi 14.848, Taqrir: Markaz Muhammad bin Nayif lir Ri’ayah asy-Syamilah wal Munashahah, assakina.com.
15 Koran al-Riyadh edisi 14.848
16 Koran al-Riyadh edisi 14.848.
17 Markaz Muhammad bin Nayif lil Munashahah, Su’ud Abdul Aziz Kabuli, koran al-Watan edisi 3.257
18 Koran al-Riyadh edisi 15.042.
—
Penulis: Anas Burhanuddin, Lc., MA.
Artikel Muslim.Or.Id
Artikel asli: https://muslim.or.id/6929-berdialog-dengan-teroris.html